Library Links

Sunday, March 29, 2015

ALUS DIY On Tour: National Library of Indonesia

Perpustakaan, bicara mengenai perpustakaan, sudah berapa sering kah intensitas kalian berkunjung ke perpustakaan? Apakah sebatas berkunjung ke perpustakaan sekolah atau universitas? Sebagai mahasiswa yang bergerak di bidang literasi dan masyarakat yang literate, sudah seharusnya kita mengunjungi perpustakaan dengan taraf yang lebih tinggi. Bukan bermaksud untuk mengesampingkan perpustakaan-perpustakaan yang lain, namun alangkah lebih baiknya kalau kita mengetahui bahwasaya di negara ini terdapat induk perpustakaan yang mungkin lebih besar. Ya, seperti kita ketahui, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI).

Beberapa waktu yang lalu, Jum'at (13/3) saya bersama teman-teman yang kebetulan didalam wadah organisasi yang sama, yakni ALUS Asosiasi Mahasiswa Ilmu Perpustakaan berkesempatan untuk mengunjungi Perpustakaan Nasional. Berjumlah 10 orang termasuk saya, kami berangkat bersama secara mandiri. Motivasi kami sederhana, hanya ingin mengetahui seberapa wah nya perpustakaan yang di gadang-gadang sebagai induk perpustakaan di negeri ini. Sekitar pukul 17.00 kami berangkat dari stasiun Lempuyangan.




Perjalanan dari Yogyakarta sampai Jakarta memakan waktu kurang lebih  8 jam. Tepat hari Sabtu kami tiba di Jakarta, namun sangat disayangkan Perpustakaan Nasional yang ada di Jl Merdeka Selatan sedang ditutup dengan alasan perbaikan. Tak jadi masalah, kami tetap dapat berkunjung ke Perpusnas yang ada di Jl. Salemba Raya 28A. Subuh kami sempatkan istirahat sejenak di masjid Istiqlal serta menunaikan kewajiban. Selepas dari masjid Istiqlal kami juga menyempatkan berkunjung sebentar ke Monumen Nasional (Monas). Sebagai formalitas karena kata orang kalau ke Jakarta belum ke Monas berarti belum ke Jakarta. Setelah ke Monas, tidak serta merta kai langsung ke tujuan utama. Kami masih sibuk mengelilingi kota metropolitan ini. Dengan Trans Jakarta kami dibawa berkeliling mengitari kota yang bisa dikatakan sebagai kota tersibuk Indonesia.




Setelah puas bermain-main, kami langsung menuju ke tujuan utama, yakni Perpusnas Jl. Salemba Raya 28A. Sesampainya disana, benar saja kalau tempat ini dikatakan sebagai perpustakaan yang berstandar nasional. Tempat yang luas dan nyaman adalah yang terpikirkan ketika masuk pertama kali. Sebanyak 7 lantai ada di perpustakaan ini.





a, Lantai 1 (Layanan Koleksi Majalah, Surat Kabar, dan Jurnal Mutakhir)


b. Lantai 2 (Koleksi Peta dan Lukisan, Katalog)



c. Lantai 3 (Layanan Koleksi Ilmu Sosial dan Humaniora dan Ilmu Terapan)


d. Lantai 4 (Layanan Koleksi Audio Visual)


e. Lantai 5 (Naskah-naskah Kuno)
f. Lantai 6 (Koleksi Langka)
g. Lantai 7 (Koleksi Kliping)

Banyak hal yang menarik dan pelajaran yang kami dapatkan dari kunjungan ke Perpusnas kali ini, salah satunya adalah jangan melulu terkotak dengan perpustakaan yang "itu-itu saja". Sesekali sempatkan lah mengunjungi gudang pengetahuan yang cakupannya lebih besar, meskipun tak di pungkiri bahwa Perpusnas masih bisa dikatakan "kurang" jika dibandingkan dengan perpustakaan-perpustakaan di negara maju lainnya. Namun, untuk bisa menjadi perpustakaan yang lebih maju, kita tidak bisa serta merta membandingkan dengan perpustakaan yang ada di negara maju, karena semua  butuh yang namanya step by step untuk dapat melangkah kearah yang lebih baik. Dalam hal ini Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI).

Sunday, March 15, 2015

Televisi: Edukasi atau Manipulasi?

Kotak ajaib itu bernama "televisi". Di zaman yang serba menggunakan teknologi ini siapa yang tak mengenal televisi. Sebuah benda yang umumnya berbentuk kotak ini dapat memancarkan audio maupun visual. Ajaib bukan? Tayangan yang ditampilkan stasiun televisi pun beragam. Mulai dari tayangan yang edukatif hingga tayangan basa-basi semu yang menjurus kearah propaganda-propaganda yang dilakukan demi kepentingan golongan tertentu. Disini peran aktif masyarakat kita dibutuhkan untuk mengkritisi tayangan-tayangan yang ditampilkan oleh televisi. Ditambah sebagai mahasiswa yang juga bergerak di bidang informasi dituntut untuk dapat melakukan sedikit perubahan yang baik terhadap media yang ada di negeri ini.

Sepekan kemarin saya melakukan survey dengan menyaksikan berbagai macam acara yang ada di televisi. Mulai dari berita, iklan, sinetron, reality show, dan lain sebagainya. Dari survey tersebut, saya menyimpulkan banyak acara-acara televisi yang masih menyimpang dari budaya ketimuran dan lolos sensor. Apakah ada kriteria tertentu dalam melakukan penyensoran atau bagaimana saya pun tidak begitu paham, yang jelas dalam sebuah adegan masih ditemukan beberapa bentuk penyimpangan. Yang paling mencolok adalah kasus bullying yang terdapat di kebanyakan acara komedi. Meski telah ditampilkan di running text bahwasanya properti yang digunakan terbuat dari bahan yang aman, namun tidak menutup kemungkinan jika adagen tersebut dapat memicu pemirsanya untuk melakukan hal yang sama di kehidupan sehari-harinya. Hal-hal seperti inilah yang menurut saya menyimpang dan dalam hal ini KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) harus dapat bertindak.

Masih banyak sebenarnya hal-hal yang menympang lainnya, jika anda pernah menyaksikan film dokumenter Di Balik Frekuensi, anda pasti mengerti buruknya media yang ada di Indonesia. Film yang distrudarai oleh Ucu Agustin ini memang mengangkat fakta-fakta yang ada di media. Pada intinya film ini menceritakan tentang penyalahgunaan frekuensi yang dilakukan oleh beberapa pemilik media di Indonesia. Padahal seperti kita ketahui jika tanah, air, dan udara adalah milik negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Namun frekuensi yang notabene berada di lingkup udara telah disalahgunakan oleh beberapa kelompok penguasa media. Bayangkan saja, dari ribuan kanal-kanal media baik cetak maupun non cetak yang setiap hari kita konsumsi informasinya, hanya di kendalikan oleh 12 group media saja. Group-group itulah yang setiap hari menyuplai informasi bagi kita. Keduabelas grup itu adalah:

1. Mahaka Media Group (Erick Tohir & Abdul Bani)
    Republika, Jak TV, Delta FM, Prambors
2. Elang Mahkota Teknologi (EMTEK, Keluarga Sariatmadja, Eddy Kusnadi Sariatmadja)
    SCTV, Indosiar
3. Kompas Gramedia Group (Jacob Oetama)
    Kompas Gramedia, Kompas TV, Kompas.com, Sonora FM, Harian Tribun
4. MNC Group
    RCTI,MNC TV, Global TV, Indovision, TOP TV, okezone.com, Sindo Radio, V Radio, Seputar Indonesia
5.  Jawa Pos (Dahlan Iskan, Azrul Ananda)
     JTV, Jawa Pos, Batam Pos, Radar Surabaya, Radar Gresik, Metro Siantar
6. CT Corp (Chairul Tanjung)
    Trans TV, Trans 7, detik.com
7. Berita Satu Media Holdings (Lippo Group, James Riyadi)
    Berita Satu, Suara Pembaruan, First Media, Jakarta Globe
8. MRA Media Group (Soetikno Soedarjo, Adiguna Sutowo)
    Rosmopolitan, FHM, i-radio, trax fm, Hardrock Radio Bali, Hardrock Radio Jakarta
9. Media Group (Surya Paloh)
    Metro TV, Media Indonesia, metrotvnews.com, Lampung Post
10. Visi Media Asia (Bakrie & Brothers, Aburizal Bakrie)
      TV One, ANTV, vivanews.com
11. Femina Group (Pia Alisjahbana)
      Femina, Dewi, Ayahbunda, Cleo, Parenting, Reader's Digest, Men's Health, UFM Jakarta
12. PT Tempo Inti Media (PT Grafiti Pers, masyarakat, Yayasan Karyawan Tempo, Yayasan Tempo 21 Juni, PT Jaya Raya Utama, Yayasan Jaya Raya)
     Tempo, Koran Tempo, Tempo Interaktif, Koran Tempo

Konsentrasi kepemilikan ribuan media di tangan 12 group itulah yang kini tengah terjadi di industri media Indonesia. Dalam istilah ilmu ekonomi pola semacam ini dinamakan oligopoli, yakni sebagai suatu pasar yang terdiri dari beberapa produsen atau penjual yang menguasai penawaran. Penjual dalam hal ini ialah keduabelas group itulah yang sedang menguasai pasar frekuensi kita saat ini. Dan didalam frekuensi yang mereka kelola itu mereka isi dengan berbagai materi yang mereka atur sesuai keinginan mereka. Hal semacam itu sangat terlihat mencolok ketika masa pemilu berlangsung. Para pemilik media seolah ingin menebar kebaikan mereka di hadapan masyarkat melalui media masing-masing. Serta dalam istilah yang lebih dikenal secara umum,kepemilikan yang dari hari ke hari makin terkonsentrasi ini disebut sebagai konglomerasi. Ya, konglomerasi media.



Media memang beragam, kita bebas untuk memilih media yang sesuai dengan minat. Namun, alangkah lebih bijaksana jika kita mempunyai filter tersendiri untuk menyaring informasi yang kita butuhkan dan informasi yang hanya dilatarbelakangi oleh kepentingan golongan tertentu saja. Serta memang tidak bisa dipungkiri jika informasi dari media-media yang ada tersebut masih banyak yang berkualitas, namun semua kembali ke diri kita untuk bisa memilih informasi yang benar atau informasi yang keliru. Jangan sampai esensi dari televisi berubah artian menjadi Tell Lie Vision. Dan apakah televisi menyuguhkan kita tayangan edukasi atau manipulasi semata dari pemilik media? Semua tergantung  opini dari masyarakat itu sendiri sebagai penikmat informasi.

Saturday, March 7, 2015

Semangat Itu Mereka

Tiap-tiap orang pasti mempunyai sosok inspirasi di hidupnya. Inspirator yang selalu menjadikan hidupnya penuh dengan motivasi. Sosok inspirator yang kuat, tangguh memang sangat diperlukan untuk hidup yang terus berkembang. Mulai dari tokoh inspirator ternama sampai hanya inspirator yang ala kadarnya. Namun, itu semua tidaklah penting, yang terpenting adalah seorang inspirator tersebut mampu membangkitkan semangat dan gairah hidup. Banyak orang yang mengaku mempunyai sosok inspirator yang begitu terkenal dan mempunyai nama besar, namun tidak membuat taraf hidupnya naik secara signifikan. Akan tetapi ada juga yang memiliki tokoh inspirator yang bisa dikatakan tidak mempunyai nama besar, namun membuat hidup orang tersebut progress, hal itu lebih baik ketimbang mempunyai sosok inspirator ternama namun tidak dapat membuat hidupnya berkembang.

Pun dengan saya. Saya juga memiliki sosok inspirator yang begitu saya banggakan. Mereka seakan telah memotivasi saya untuk terus berkembang, menyamai, bahkan melampaui apa yang telah mereka hasilkan selama ini. Ya, tidak muluk-muluk, tokoh inspirator saya adalah teman-teman saya sendiri. Lewat mereka saya banyak belajar hal-hal positif. Banyak teman-teman saya yang telah sukses di bidang nya masing-masing. Ada yang bergerak di bidang wirausaha bahkan ada yang sudah diterima menjadi pegawai negeri di salah satu kementerian di Jakarta. Semangat dan perjuangan mereka lah yang patut saya apresiasi. Maka tak heran jika saya menjadikan mereka sebagai sosok yang begitu menginspirasi dan memotivasi. Bahkan ada salah seorang teman saya yang begitu fokus di bidang akademisi, pengalaman dan prestasinya di olimpiade sains pun tak diragukan lagi. Kehidupan yang sederhana pun tak membuat semangatnya redup, padahal jika ia mau, ia dapat dengan mudah hidup secara hedonis dengan hasil yang ia dapatkan dari berbagai macam prestasi yang ia raih. Namun, hal itu tidak membuat dia merasa berbangga diri, ia tetap rendah hati dan ramah terhadap siapa saja. Kabar yang terakhir saya dengar, ia mendapatkan beasiswa ke Jerman, namun ia menolaknya dengan alasan tidak mendapat izin dari sang ibu. Sungguh hal yang sangat luar biasa dari seorang anak yang hidup di zaman serba sekuler ini. “Kalau dia bisa, mengapa saya tidak” kata-kata itu lah yang selalu ada di benak saya untuk terus  memotivasi  diri saya sendiri agar berkembang kearah yang leih baik.





Lewat teman-teman juga, tak hanya saling memotivasi dan memberikan berbagai masukan, tetapi disitu kita juga bisa membangun relasi yang kuat. Seperti yang kita ketahui bersama, banyak orang sukses di dunia ini dikarenakan oleh apa? Oleh banyaknya relasi yang mereka bangun. Bagaimana cara kita agar dapat membangun sebuah relasi? Kalau di dalam bahasa jawa kita mengenal istilah srawung. Istilah srawung sendiri kurang lebih berarti silaturahmi. Di dalam kitab sendiri, silaturahmi dikatakan sangat penting untuk membina kekeluargaan. Ya, pada hakikatnya memang manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri dan membutuhkan orang lain.


Oleh sebab itu, menurut saya tak perlulah sosok inspirator yang mempunyai nama tenar. Cukup sesosok orang yang dapat membuat hidupnya termotivasi dan merubah hidupnya kearah yang lebih signifikan. Oke, tidak ada salah nya memang mempunyai tokoh inspirator yang ternama, karena itu adalah hak tiap-tiap individu. Namun apakah sosok tersebut sudah benar-benar memotivasi diri sendiri. Jawabanya ada di diri tiap-tiap individu J

Friday, March 6, 2015

Totalitas-Loyalitas dari Belakang Gawang

Di semua cabang olahraga kita pasti mengenal sekelompok pendukung atau lebih dikenalnya sebagai sebuah supporter. Ya, supporter berasal dari kata support yang berarti mendukung. Supporter ada dengan tugas utama mendukung tim kesayangannya serta “meneror” tim lawan untuk mejatuhkan mental mereka. Meneror disini bukan berarti sebagai teroris yang bersifat ekstrim, melainkan meneror secara psikologis terhadap tim lawan. Di cabang olahraga sepakbola pada umumnya, supporter tidak dapat dipisahkan dari olahraga sepakbola tersebut. Supporter seakan menjadi daya tarik tersendiri bagi olahraga tersebut untuk menarik animo dari masyarakat .

Di Yogyakarta sendiri tepatnya di Kabupaten Sleman memiliki sebuah tim lokal sepakbola, yakni bernama PSS Sleman. Tim dengan sejarah panang sejak didirikan pada tahun 1976 ini sudah memiliki berbagai macam prestasi, terakhir presatasi yang diraih ialah menjuarai kompetisi LPIS pada tahun 2013. Mencapai presatasi yang seperti ini juga tak lepas dari kontribusi para supporter dari PSS Sleman itu sendiri. Mulai dari dukungan dari dalam lapangan sampai dukungan dari luar lapangan. Dukungan dari dalam lapangan mereka wujudkan dalam bentuk suara lantang mereka untuk bernyanyi dan mendukung tim kesayangan mereka, sedangkan dukungan dari luar lapangan mereka implementasikan dengan cara membangun unit-unit usaha untuk membantu roda-roda perekonomian tim PSS Sleman.

Komunitas pendukung PSS Sleman itu bernama Brigata Curva Sud (BCS). Nama ini diambil dari bahasa Italia yang kurang lebih berari pasukan tribun selatan. Memang komunitas ini berada di tribun sisi selatan stadion Maguwoharjo. Di belakang gawang inilah mereka mendukung tim dengan suara lantang dan tak jarang meneror tim lawan ketika bertanding dan menjatuhkan mental mereka. Hal ini terbukti sangat ampuh dengan seringnya intensitas kemenangan tim PSS Sleman selama mereka bermain di stadion Maguwoharo.  Pada 5 Februari 2011 mereka memberanikan diri membentuk wadah komunitas pendukung PSS Sleman dengan nama besar, Brigata Curva Sud. Kelompok ini dinilai sangat fanatik terhadap tim kesayangannya, dimanapun PSS berlaga disitu mereka juga berada. Bahkan atraksi-atraksi yang mereka tampilkan seringkali memunculkan decak kagum dari berbagai kalangan, dunia internasional pun sudah mengakui krativitas mereka dengan menempatkan mereka pada posisi ke 5 sebagai supporter paling atraktif menurut TifoTV. Namun hal ini tak membuat mereka merasa jumawa, yang terpenting bagi mereka hanyalah total mendukung PSS Sleman.
Koreo 2013

Rain Paper

Red Flare

Brigata Curva Sud sendiri tidak memiliki struktur kepengurusan dan ketua komunitas. Namun bukan berarti kelompok ini menjadi sebuah kelompok yang tidak terorganisasi. Hal ini mereka terapkan agar semakin tingginya sikap kebersamaan dan kekeluargaan di dalam kelompok. Semua setara tidak ada strata. Maka muncul lah sebuah jargon di dalam kelompok ini yang biasa dikenal sebagai No Leader Just Together.  Di dalam Brigata Curva Sud sendiri memiliki beberapa komunitas di dalamnya, yang mana di setiap komunitas terdapat koordinatornya masing-masing. Koordinator ini lah yang mendapat tugas untuk menyampaikan hasil rapat/forum kepada para anggotanya.

Di luar lapangan sendiri tidak membuat mereka berhenti untuk mendukung dan memikirkan PSS Sleman. Dengan cara kreatif lainnya meeka berusaha mendukung PSS Sleman dalam bentuk lain. Bentuk lain tersebut semisal mendirikan berbagai macam unit usaha. Unit usaha yang telah mereka dirikan adalah Curva Sud Shop yakni sebuah outlet merchandise resmi dari kelompok ini, di outlet ini menjual berbagai macam kebutuhan semisal kaos, jaket, scarf, dan lain sebagainya. Unit usaha lainnya adalah Curva Sud Production yang bergerak di bidang produksi semisal sablon kaos, cetak banner, dan lain-lain. Unit usaha yang berikutnya adalah Curva Sud Magazine, merupakan media cetak dari kelompok ini untuk menyalurkas aspirasi dan semangat mereka dalam bentuk tulisan. Ada pula Curva Sud Mart, semacam toko kelontong yang menjual berbagai macam perlengkapan sehari-hari para supporter. Dan yang paling penting dari unit usaha ini adalah keuntungan dari penjualan mereka alokasikan kepada tim kesayangan mereka, PSS Sleman, untuk terus memutar roda-roda perekonomian tim serta tetap Mandiri Menghidupi.

Banyak hal positif yang dapat diambil dari komunitas ini, fokus dan loyalitas luar biasa terhadap apa yang menjadi passion mereka serta membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat dengan unit-unit usaha yang mereka dirikan. Ya, BCS kini mungkin sudah bisa dikatakan telah melaksanakan diplomasi publik lebih baik daripada para elit-elit pemerintahan diatas sana. Dan yang lebih penting lagi BCS seakan telah mem-branding nama Sleman pada khususnya dan Indonesia pada umumnya di mata dunia.


Together We Are Stronger!!