Kotak ajaib itu bernama "televisi". Di zaman yang serba menggunakan teknologi ini siapa yang tak mengenal televisi. Sebuah benda yang umumnya berbentuk kotak ini dapat memancarkan audio maupun visual. Ajaib bukan? Tayangan yang ditampilkan stasiun televisi pun beragam. Mulai dari tayangan yang edukatif hingga tayangan basa-basi semu yang menjurus kearah propaganda-propaganda yang dilakukan demi kepentingan golongan tertentu. Disini peran aktif masyarakat kita dibutuhkan untuk mengkritisi tayangan-tayangan yang ditampilkan oleh televisi. Ditambah sebagai mahasiswa yang juga bergerak di bidang informasi dituntut untuk dapat melakukan sedikit perubahan yang baik terhadap media yang ada di negeri ini.
Sepekan kemarin saya melakukan survey dengan menyaksikan berbagai macam acara yang ada di televisi. Mulai dari berita, iklan, sinetron, reality show, dan lain sebagainya. Dari survey tersebut, saya menyimpulkan banyak acara-acara televisi yang masih menyimpang dari budaya ketimuran dan lolos sensor. Apakah ada kriteria tertentu dalam melakukan penyensoran atau bagaimana saya pun tidak begitu paham, yang jelas dalam sebuah adegan masih ditemukan beberapa bentuk penyimpangan. Yang paling mencolok adalah kasus bullying yang terdapat di kebanyakan acara komedi. Meski telah ditampilkan di running text bahwasanya properti yang digunakan terbuat dari bahan yang aman, namun tidak menutup kemungkinan jika adagen tersebut dapat memicu pemirsanya untuk melakukan hal yang sama di kehidupan sehari-harinya. Hal-hal seperti inilah yang menurut saya menyimpang dan dalam hal ini KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) harus dapat bertindak.
Masih banyak sebenarnya hal-hal yang menympang lainnya, jika anda pernah menyaksikan film dokumenter Di Balik Frekuensi, anda pasti mengerti buruknya media yang ada di Indonesia. Film yang distrudarai oleh Ucu Agustin ini memang mengangkat fakta-fakta yang ada di media. Pada intinya film ini menceritakan tentang penyalahgunaan frekuensi yang dilakukan oleh beberapa pemilik media di Indonesia. Padahal seperti kita ketahui jika tanah, air, dan udara adalah milik negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Namun frekuensi yang notabene berada di lingkup udara telah disalahgunakan oleh beberapa kelompok penguasa media. Bayangkan saja, dari ribuan kanal-kanal media baik cetak maupun non cetak yang setiap hari kita konsumsi informasinya, hanya di kendalikan oleh 12 group media saja. Group-group itulah yang setiap hari menyuplai informasi bagi kita. Keduabelas grup itu adalah:
1. Mahaka Media Group (Erick Tohir & Abdul Bani)
Republika, Jak TV, Delta FM, Prambors
2. Elang Mahkota Teknologi (EMTEK, Keluarga Sariatmadja, Eddy Kusnadi Sariatmadja)
SCTV, Indosiar
3. Kompas Gramedia Group (Jacob Oetama)
Kompas Gramedia, Kompas TV, Kompas.com, Sonora FM, Harian Tribun
4. MNC Group
RCTI,MNC TV, Global TV, Indovision, TOP TV, okezone.com, Sindo Radio, V Radio, Seputar Indonesia
5. Jawa Pos (Dahlan Iskan, Azrul Ananda)
JTV, Jawa Pos, Batam Pos, Radar Surabaya, Radar Gresik, Metro Siantar
6. CT Corp (Chairul Tanjung)
Trans TV, Trans 7, detik.com
7. Berita Satu Media Holdings (Lippo Group, James Riyadi)
Berita Satu, Suara Pembaruan, First Media, Jakarta Globe
8. MRA Media Group (Soetikno Soedarjo, Adiguna Sutowo)
Rosmopolitan, FHM, i-radio, trax fm, Hardrock Radio Bali, Hardrock Radio Jakarta
9. Media Group (Surya Paloh)
Metro TV, Media Indonesia, metrotvnews.com, Lampung Post
10. Visi Media Asia (Bakrie & Brothers, Aburizal Bakrie)
TV One, ANTV, vivanews.com
11. Femina Group (Pia Alisjahbana)
Femina, Dewi, Ayahbunda, Cleo, Parenting, Reader's Digest, Men's Health, UFM Jakarta
12. PT Tempo Inti Media (PT Grafiti Pers, masyarakat, Yayasan Karyawan Tempo, Yayasan Tempo 21 Juni, PT Jaya Raya Utama, Yayasan Jaya Raya)
Tempo, Koran Tempo, Tempo Interaktif, Koran Tempo
Konsentrasi kepemilikan ribuan media di tangan 12 group itulah yang kini tengah terjadi di industri media Indonesia. Dalam istilah ilmu ekonomi pola semacam ini dinamakan oligopoli, yakni sebagai suatu pasar yang terdiri dari beberapa produsen atau penjual yang menguasai penawaran. Penjual dalam hal ini ialah keduabelas group itulah yang sedang menguasai pasar frekuensi kita saat ini. Dan didalam frekuensi yang mereka kelola itu mereka isi dengan berbagai materi yang mereka atur sesuai keinginan mereka. Hal semacam itu sangat terlihat mencolok ketika masa pemilu berlangsung. Para pemilik media seolah ingin menebar kebaikan mereka di hadapan masyarkat melalui media masing-masing. Serta dalam istilah yang lebih dikenal secara umum,kepemilikan yang dari hari ke hari makin terkonsentrasi ini disebut sebagai konglomerasi. Ya, konglomerasi media.
Media memang beragam, kita bebas untuk memilih media yang sesuai dengan minat. Namun, alangkah lebih bijaksana jika kita mempunyai filter tersendiri untuk menyaring informasi yang kita butuhkan dan informasi yang hanya dilatarbelakangi oleh kepentingan golongan tertentu saja. Serta memang tidak bisa dipungkiri jika informasi dari media-media yang ada tersebut masih banyak yang berkualitas, namun semua kembali ke diri kita untuk bisa memilih informasi yang benar atau informasi yang keliru. Jangan sampai esensi dari televisi berubah artian menjadi Tell Lie Vision. Dan apakah televisi menyuguhkan kita tayangan edukasi atau manipulasi semata dari pemilik media? Semua tergantung opini dari masyarakat itu sendiri sebagai penikmat informasi.
JTV, Jawa Pos, Batam Pos, Radar Surabaya, Radar Gresik, Metro Siantar
6. CT Corp (Chairul Tanjung)
Trans TV, Trans 7, detik.com
7. Berita Satu Media Holdings (Lippo Group, James Riyadi)
Berita Satu, Suara Pembaruan, First Media, Jakarta Globe
8. MRA Media Group (Soetikno Soedarjo, Adiguna Sutowo)
Rosmopolitan, FHM, i-radio, trax fm, Hardrock Radio Bali, Hardrock Radio Jakarta
9. Media Group (Surya Paloh)
Metro TV, Media Indonesia, metrotvnews.com, Lampung Post
10. Visi Media Asia (Bakrie & Brothers, Aburizal Bakrie)
TV One, ANTV, vivanews.com
11. Femina Group (Pia Alisjahbana)
Femina, Dewi, Ayahbunda, Cleo, Parenting, Reader's Digest, Men's Health, UFM Jakarta
12. PT Tempo Inti Media (PT Grafiti Pers, masyarakat, Yayasan Karyawan Tempo, Yayasan Tempo 21 Juni, PT Jaya Raya Utama, Yayasan Jaya Raya)
Tempo, Koran Tempo, Tempo Interaktif, Koran Tempo
Konsentrasi kepemilikan ribuan media di tangan 12 group itulah yang kini tengah terjadi di industri media Indonesia. Dalam istilah ilmu ekonomi pola semacam ini dinamakan oligopoli, yakni sebagai suatu pasar yang terdiri dari beberapa produsen atau penjual yang menguasai penawaran. Penjual dalam hal ini ialah keduabelas group itulah yang sedang menguasai pasar frekuensi kita saat ini. Dan didalam frekuensi yang mereka kelola itu mereka isi dengan berbagai materi yang mereka atur sesuai keinginan mereka. Hal semacam itu sangat terlihat mencolok ketika masa pemilu berlangsung. Para pemilik media seolah ingin menebar kebaikan mereka di hadapan masyarkat melalui media masing-masing. Serta dalam istilah yang lebih dikenal secara umum,kepemilikan yang dari hari ke hari makin terkonsentrasi ini disebut sebagai konglomerasi. Ya, konglomerasi media.
Media memang beragam, kita bebas untuk memilih media yang sesuai dengan minat. Namun, alangkah lebih bijaksana jika kita mempunyai filter tersendiri untuk menyaring informasi yang kita butuhkan dan informasi yang hanya dilatarbelakangi oleh kepentingan golongan tertentu saja. Serta memang tidak bisa dipungkiri jika informasi dari media-media yang ada tersebut masih banyak yang berkualitas, namun semua kembali ke diri kita untuk bisa memilih informasi yang benar atau informasi yang keliru. Jangan sampai esensi dari televisi berubah artian menjadi Tell Lie Vision. Dan apakah televisi menyuguhkan kita tayangan edukasi atau manipulasi semata dari pemilik media? Semua tergantung opini dari masyarakat itu sendiri sebagai penikmat informasi.
0 comments:
Post a Comment